Perkembangan penegakan hukum di Indonesia adalah perjuangan panjang melawan korupsi dan impunitas. Dari Reformasi hingga kini, ada kemajuan institusional, tapi tantangan struktural tetap mendominasi. Indonesia butuh pemimpin yang berani menegakkan hukum tanpa pandang bulu, bukan yang menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan
Penegakan hukum di Indonesia merupakan cerminan dari dinamika bangsa yang sedang bertransisi dari era otoriter ke demokrasi. Sejak Reformasi 1998 yang menggulingkan rezim Orde Barbar, sistem hukum Indonesia telah mengalami evolusi signifikan. Namun, perkembangannya sering kali terombang-ambing antara kemajuan institusional dan kemunduran akibat intervensi politik serta korupsi endemik. Dalam opini ini, saya berpendapat bahwa meskipun ada langkah maju seperti pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK), penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari ideal. Korupsi yang merajalela, impunitas bagi elit, dan lemahnya supremasi hukum menjadi penghambat utama. Untuk mencapai keadilan sejati, diperlukan reformasi radikal yang melibatkan independensi yudisial, pemberdayaan masyarakat sipil, dan pendidikan hukum sejak dini. Perkembangan ini bukan hanya tentang undang-undang, tapi tentang membangun budaya hukum yang adil dan akuntabel.
Sejarah penegakan hukum Indonesia tidak bisa dipisahkan dari warisan kolonial dan otoritarianisme. Di era kolonial Belanda, hukum lebih sebagai alat penindasan daripada keadilan, dengan dualisme sistem hukum antara Eropa dan pribumi. Pasca-kemerdekaan, Soekarno memperkenalkan Demokrasi Terpimpin yang sering mengabaikan rule of law demi stabilitas nasional. Puncaknya di Orde Baru Soeharto, di mana hukum menjadi instrumen kekuasaan: militer mendominasi, oposisi dibungkam melalui Undang-Undang Subversi, dan korupsi kolusi nepotisme (KKN) menjadi norma. Kasus seperti pembunuhan aktivis Marsinah pada 1993 atau penyiksaan di Timor Timur menunjukkan betapa hukum saat itu buta terhadap pelanggaran HAM.
Reformasi 1998 menjadi titik balik. Amandemen UUD 1945 memperkuat checks and balances, membentuk MK untuk menguji undang-undang, dan KPK pada 2002 sebagai lembaga superbody anti-korupsi. KPK awalnya sukses besar: dari 2004 hingga 2010, mereka menangkap ratusan pejabat tinggi, termasuk anggota DPR dan gubernur. Tingkat keberhasilan penuntutan mencapai 100%, jauh di atas Kejaksaan Agung yang hanya 60-70%. Ini membuktikan bahwa dengan independensi, penegakan hukum bisa efektif. Selain itu, pembentukan Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasi hakim dan Polri yang dipisah dari ABRI meningkatkan profesionalisme. Di bidang HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Undang-Undang Pengadilan HAM 2000 membuka ruang penyelesaian kasus masa lalu seperti Trisakti dan Semanggi.
Namun, perkembangan positif ini mulai tergerus sejak 2010-an. Revisi Undang-Undang KPK pada 2019 oleh DPR menjadi pukulan telak. KPK dijadikan lembaga eksekutif di bawah presiden, pegawainya menjadi ASN, dan dibentuk Dewan Pengawas yang membatasi operasi. Akibatnya, kinerja KPK menurun drastis: dari 120 kasus per tahun menjadi di bawah 80 pada 2023. Banyak kasus korupsi besar seperti e-KTP atau Jiwasraya mandek karena intervensi politik. Saya melihat ini sebagai upaya elit untuk melemahkan lembaga anti-korupsi, karena KPK pernah menyentuh partai-partai besar. Data Transparency International menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia stagnan di sekitar 38-40 dari 100 sejak 2019, jauh di bawah Singapura (85) atau Malaysia (53).
Di sektor peradilan, Mahkamah Agung (MA) sering dikritik karena mafia peradilan. Kasus suap hakim seperti Akil Mochtar pada 2013 atau Harifin Tumpa mengungkap jaringan korupsi di tubuh yudisial. Meski ada program e-court untuk transparansi, implementasinya lambat di daerah. Polri juga bermasalah: kasus Ferdy Sambo pada 2022, di mana jenderal polisi membunuh brigadir dan memanipulasi bukti, menunjukkan impunitas internal. Reformasi Polri pasca-2000 gagal karena budaya korps yang feodal. Opini publik dari survei Kompas 2024 menunjukkan hanya 55% masyarakat percaya pada polisi, turun dari 70% di 2010.
Hukum Kini
Perkembangan hukum di era digital menambah kompleksitas. Undang-Undang ITE 2008, yang dimaksudkan melindungi ruang siber, justru menjadi alat kriminalisasi kritik. Ribuan kasus pencemaran nama baik terhadap jurnalis dan aktivis, seperti kasus Prita Mulyasari atau Fatia Maulidiyanti, menunjukkan penyalahgunaan hukum untuk membungkam dissent. Di sisi lain, ada kemajuan seperti Ratifikasi Konvensi Anti-Korupsi UNCAC dan pembentukan Satgas TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) yang berhasil menyita aset koruptor miliaran rupiah.
Secara pribadi, saya optimis tapi realistis. Perkembangan penegakan hukum Indonesia seperti roda yang berputar: maju dua langkah, mundur satu. Keberhasilan seperti vonis mati bagi koruptor Bansos COVID-19 pada 2021 atau putusan MK tentang syarat usia capres yang kontroversial pada 2023 menunjukkan potensi. Namun, tanpa political will dari presiden dan DPR, reformasi akan sia-sia. Jokowi, meski membentuk Saber Pungli, gagal melindungi KPK dari pelemahan. Di era Prabowo-Gibran yang baru dimulai 2024, ada harapan dari janji pemberantasan korupsi, tapi juga kekhawatiran karena latar belakang militer yang sering mengabaikan HAM.
Untuk maju, pertama, kembalikan independensi KPK dengan merevisi UU 2019 dan hapus Dewan Pengawas. Kedua, reformasi yudisial melalui seleksi hakim yang ketat dan digitalisasi penuh untuk hilangkan mafia. Ketiga, pendidikan hukum di sekolah dan masyarakat untuk bangun kesadaran. Organisasi seperti ICW atau YLBHI harus didukung, bukan dikriminalisasi. Keempat, integrasikan teknologi seperti blockchain untuk transparansi anggaran negara.
Kesimpulannya, perkembangan penegakan hukum di Indonesia adalah perjuangan panjang melawan korupsi dan impunitas. Dari Reformasi hingga kini, ada kemajuan institusional, tapi tantangan struktural tetap mendominasi. Indonesia butuh pemimpin yang berani menegakkan hukum tanpa pandang bulu, bukan yang menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan. Jika tidak, mimpi negara hukum seperti amanat Pembukaan UUD 1945 akan tetap utopia. Masyarakat harus aktif: laporkan korupsi, pilih pemimpin bersih, dan kawal proses hukum. Hanya dengan itu, Indonesia bisa menjadi bangsa yang adil dan sejahtera. Hukum bukan akhir, tapi sarana untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.