Apa yang bisa kita lihat dan ambil pelajaran dari penanganan kasus di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, yang meledak pada awal Oktober 2025?. Kasus ini, yang melibatkan Kepala Sekolah Dini Fitria yang diduga menampar siswa kelas XII Indra Lutfiana Putra (17) karena ketahuan merokok di belakang sekolah, bukan hanya tragedi individu, melainkan cerminan kegagalan sistemik dalam pendidikan Indonesia. Lebih ironis lagi, respon Provinsi Banten di bawah Gubernur Andra Soni justru menjadi contoh klasik dari penyelesaian yang tidak tepat: reaktif, dangkal, dan berorientasi pada kestabilan administratif daripada keadilan substantif bagi korban dan pencegahan jangka panjang.
Pendekatan seperti demikian bukan hanya gagal melindungi hak anak dan martabat guru, tapi juga memperlemah fondasi pendidikan nasional, di mana disiplin dan empati seharusnya berjalan seiring. Dengan kasus ini yang kini telah mereda secara formal melalui mediasi pada 15 Oktober 2025, tapi meninggalkan luka psikis bagi 630 siswa yang terlibat mogok belajar, kita harus bertanya: apakah Banten siap belajar dari kesalahan, atau akan mengulang pola yang sama?
Mari kita rekonstruksi kronologi untuk memahami mengapa respon provinsi ini bermasalah. Insiden terjadi pada Jumat, 10 Oktober 2025, saat kegiatan Jumat Bersih. Menurut klarifikasi Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Banten Lukman, siswa Indra ketahuan merokok—pelanggaran serius yang melanggar aturan sekolah dan Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009. Dini Fitria, sebagai kepala sekolah, menegur dengan bahasa tegas disertai tamparan ringan, yang ia klaim sebagai "spontan menahan emosi" tanpa kekerasan berat.
Namun, video insiden yang viral di media sosial memicu reaksi berantai: orang tua Indra melaporkan Dini ke polisi atas dugaan penganiayaan, dan 630 siswa dari 19 kelas melakukan mogok belajar pada 13-14 Oktober, menolak masuk kelas sebagai solidaritas. Aksi ini, meski dimotivasi oleh rasa takut dan ketidakadilan, justru menunjukkan relasi guru-murid yang retak, seperti yang dianalisis Komisioner KPAI Aris Adi Leksono: "Ada reaksi sosial dari siswa karena pendekatan kekerasan guru." Di sinilah respon provinsi masuk: Gubernur Andra Soni langsung menonaktifkan Dini pada 14 Oktober untuk "menormalkan suasana," tapi hanya dua hari kemudian, pada 15 Oktober, ia memediasi pertemuan di KP3B Serang, di mana keduanya saling memaafkan, dan Dini dikembalikan ke jabatannya. Pendampingan psikologis untuk siswa dijanjikan oleh Pemkab Lebak pada 17 Oktober, tapi itu lebih sebagai respons terhadap hujatan netizen daripada inisiatif proaktif.
Respon tersebut kurang tepat karena mengutamakan perdamaian instan dari pada proses hukum dan restoratif yang komprehensif. Pertama, penonaktifan sementara Dini terlalu tergesa-gesa dan bersifat administratif semata. Andra mengakui situasi "tidak kondusif" karena siswa menolak arahan guru, tapi bukankah itu justru peluang untuk investigasi mendalam? Alih-alih membentuk tim independen yang melibatkan psikolog, ahli hukum anak, dan perwakilan orang tua, provinsi langsung mengorbankan wibawa kepala sekolah untuk meredam kerusuhan. Hal ini menciptakan preseden berbahaya: guru yang menegur pelanggaran—seperti merokok, yang berisiko kesehatan jangka panjang bagi remaja—malah dihukum lebih dulu. Bahkan Wakil Kepala Badan Gizi Nasional Nanik Deyang tepat menyindir di media sosial: "Kepala sekolah nampar murid yang ngerokok kok malah dinonaktifkan? Terus wibawa guru di mana?" Ini bukan melindungi siswa, tapi melemahkan otoritas pendidik, yang pada akhirnya merugikan siswa itu sendiri. Bayangkan, jika setiap teguran berujung nonaktif, guru akan ragu mendidik, dan siswa seperti Indra akan terus melanggar tanpa konsekuensi.
Kedua, mediasi yang difasilitasi gubernur pada 15 Oktober terlalu sederhana dan simbolis, mengabaikan trauma korban. Ya, Indra dan Dini saling memaafkan—Indra bahkan berjanji tak merokok lagi—tapi di mana evaluasi medis independen untuk memastikan tamparan itu tidak meninggalkan dampak psikis? Komnas PA Banten merekomendasikan Restorative Justice (RJ), tapi implementasinya hanya sesi foto bersama di kantor gubernur, tanpa melibatkan konselor netral atau forum terbuka dengan seluruh siswa. Akibatnya, 630 siswa yang mogok belajar kini menghadapi perundungan online, dengan netizen menuduh mereka "manja" atau "anti-disiplin."
Pendampingan psikologis yang dijanjikan Pemkab Lebak—melalui RSUD Adjidarmo—baru muncul belakangan, dan itu pun terbatas pada siswa terkait, bukan program sekolah-wide. Ini greenwashing sosial. Provinsi Banten gagal memahami bahwa kekerasan fisik, meski ringan, melanggar UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 76H, yang melarang penganiayaan. Alih-alih mendorong laporan polisi ke ranah hukum, mediasi ini seperti "menyapu masalah di bawah karpet," meninggalkan siswa dengan rasa takut tersembunyi terhadap figur otoritas.
Lebih dalam lagi, kasus ini mengungkap akar masalah struktural yang diabaikan provinsi: kurangnya pelatihan guru dalam manajemen emosi dan disiplin non-kekerasan. KPAI menemukan "fakta baru" pada 23 Oktober bahwa sikap negatif Dini bukan insiden tunggal, tapi pola yang didukung laporan siswa dan guru lain—seperti bahasa kasar yang dianggap "biasa" di daerah Lebak. Respon Banten? Hanya pernyataan gubernur bahwa "penegakan disiplin harus tanpa kekerasan," tanpa komitmen anggaran untuk workshop berbasis evidence, seperti program Character Building dari Kemendikbud yang terbukti mengurangi kekerasan sekolah hingga 30% di pilot project Jawa Barat.
Bandingkan dengan kasus serupa di Jawa Barat, di mana Gubernur Dedi Mulyadi justru mengancam tutup sekolah jika orang tua kriminalisasi guru berlebihan, sambil mendorong dialog komunitas. Banten, sebaliknya, terjebak dalam politik image: Andra Soni bergerak karena viral, tapi pasca-mediasi, tidak ada tindak lanjut monitoring. Akibatnya, mogok belajar yang mencerminkan "relasi tidak sehat" berpotensi terulang, seperti yang dikhawatirkan Aris Adi Leksono: "Pemerintah daerah harus tindaklanjuti temuan ini."
Dari perspektif sosial yang lebih luas, respon provinsi ini memperburuk polarisasi masyarakat. Media dan netizen terbelah: satu pihak membela guru sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa" yang kini "dipojokkan," seperti opini di Jakarta Satu yang menyebut tamparan sebagai "cinta mendidik" ala zaman dulu. Pihak lain, termasuk orang tua, menyoroti hak anak bebas dari kekerasan, sesuai UU TPKS. Tapi di mana suara provinsi untuk mendamaikan narasi ini? Alih-alih kampanye publik tentang "disiplin empati," Banten membiarkan diskursus berjalan liar, hingga warganet "heran dengan mental murid sekarang." Ini bukan hanya kegagalan komunikasi, tapi kelalaian etis. Pendidikan Banten, dengan anggaran pendidikan mencapai Rp 5 triliun pada 2025, seharusnya prioritas pencegahan: integrasi kurikulum anti-kekerasan sejak SD, hotline pelaporan anonim, dan sanksi bertingkat bagi pelanggar seperti merokok—mulai dari konseling hingga skorsing, bukan langsung fisik.
Pembelajaran Bersama
Perlu akui, ada langkah positif: kembalinya Dini ke sekolah pada 16 Oktober menunjukkan upaya stabilisasi, dan janji konsultasi mental adalah awal baik. Tapi itu tak cukup. Provinsi harus reformasi struktural. Pertama, bentuk Satgas Pendidikan Aman di setiap kabupaten, melibatkan KPAI dan LSM seperti Walhi Pendidikan untuk audit rutin relasi guru-murid. Kedua, revisi pedoman disiplin sekolah berbasis bukti, mengadopsi model Finlandia di mana guru dilatih mindfulness untuk handling emosi, mengurangi insiden kekerasan hingga 50%. Ketiga, transparansi: publikasikan laporan investigasi lengkap, bukan hanya siaran pers mediasi. Jika tidak, kasus seperti Cimarga akan berulang, merusak generasi muda Banten yang sudah bergulat dengan kemiskinan (indeks kemiskinan Lebak 14% pada 2024) dan akses pendidikan terbatas.
Pada akhirnya, respon Provinsi Banten terhadap kasus SMAN 1 Cimarga adalah pelajaran mahal tentang prioritas salah: kestabilan di atas keadilan, image di atas substansi. Gubernur Andra Soni punya peluang emas untuk memimpin reformasi, tapi dengan mediasi kilat dan minim follow-up, ia justru memperkuat narasi "guru takut menegur karena takut dilaporin." Ini bukan akhir, tapi panggilan darurat. Pendidikan bukan arena politik, tapi laboratorium jiwa. Jika Banten terus gagal, bukan hanya siswa seperti Indra yang rugi, tapi seluruh bangsa yang kehilangan fondasi moral. Mari dorong akuntabilitas: tuntut gubernur untuk roadmap konkret dalam 3 bulan ke depan. Hanya dengan itu, tamparan fisik bisa diganti tamparan kesadaran—untuk guru, siswa, dan provinsi yang lebih baik.