PKBM Harapan Anak Putus Sekolah dan Tantangan Pelaksanaan

PKBM Harapan Anak Putus Sekolah dan Tantangan Pelaksanaan

PKBM adalah mercusuar di tengah badai ketidakadilan pendidikan. Perannya dalam memberdayakan anak putus sekolah telah menyelamatkan ribuan nyawa dari jurang kemiskinan abadi

Di tengah gemerlap kemajuan pendidikan formal di Indonesia, terdapat sebuah realitas pahit yang sering terlupakan: jutaan anak putus sekolah yang terjerat dalam lingkaran kemiskinan, eksploitasi, dan hilangnya mimpi. Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2023, angka putus sekolah di tingkat SD mencapai sekitar 0,5%, SMP 1,2%, dan SMA 1,8%, dengan total mencapai ratusan ribu anak setiap tahunnya. Angka ini mungkin terlihat kecil secara persentase, tetapi secara absolut, ia mewakili generasi yang terpinggirkan. Di sinilah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) muncul sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, sebuah institusi pendidikan nonformal yang dirancang untuk menjembatani kesenjangan tersebut. Dalam opini ini, saya akan membahas peran krusial PKBM dalam memberdayakan anak putus sekolah, sekaligus mengupas tantangan yang dihadapi, dengan harapan mendorong perubahan sistemik yang lebih inklusif.

PKBM bukanlah sekadar alternatif pendidikan; ia adalah manifestasi dari prinsip pendidikan seumur hidup yang dianut oleh UNESCO dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003. Didirikan sejak era 1990-an sebagai bagian dari program Kejar Paket A, B, dan C, PKBM menawarkan kesetaraan pendidikan yang setara dengan SD, SMP, dan SMA. Peran utamanya adalah memberikan akses pendidikan bagi mereka yang terputus dari jalur formal akibat berbagai faktor. Bayangkan seorang anak perempuan di pedesaan Jawa Tengah yang harus berhenti sekolah karena membantu orang tua di sawah; PKBM hadir dengan jadwal fleksibel, sering kali di sore atau malam hari, sehingga ia bisa belajar sambil bekerja. Program ini tidak hanya mengajarkan mata pelajaran inti seperti matematika, bahasa Indonesia, dan IPA, tetapi juga keterampilan vokasional seperti kewirausahaan, pertanian organik, atau kerajinan tangan. Hasilnya? Banyak lulusan PKBM yang berhasil membuka usaha kecil, meningkatkan pendapatan keluarga, dan bahkan melanjutkan ke perguruan tinggi melalui jalur kesetaraan.

Salah satu peran paling signifikan PKBM adalah dalam pemberantasan buta huruf dan peningkatan literasi fungsional. Di daerah terpencil seperti Papua atau Nusa Tenggara Timur, di mana infrastruktur sekolah formal minim, PKBM menjadi satu-satunya harapan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022 menunjukkan bahwa tingkat buta huruf di kalangan usia 15-44 tahun masih sekitar 1,7%, dan PKBM telah berhasil menurunkan angka ini melalui program akselerasi. Lebih dari itu, PKBM mempromosikan pendidikan inklusif. Anak-anak penyandang disabilitas, korban bencana alam, atau mantan pekerja anak sering kali diterima di sini tanpa diskriminasi. Contoh nyata adalah PKBM di Yogyakarta yang mengintegrasikan terapi seni untuk anak penyandang autisme, membantu mereka tidak hanya belajar akademik tapi juga mengembangkan kemandirian emosional. Peran ini selaras dengan Sustainable Development Goals (SDG) 4 tentang pendidikan berkualitas untuk semua, di mana PKBM menjadi katalisator untuk mencapai target inklusi pada 2030.

Tanatangan

Di balik keberhasilan PKBM, tantangan anak putus sekolah sangatlah kompleks dan multidimensional, yang pada akhirnya juga membebani operasional PKBM. Pertama, faktor ekonomi menjadi penyebab utama. Kemiskinan struktural di Indonesia, dengan 9,5% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan menurut BPS 2023, memaksa anak-anak bekerja sejak dini. Seorang anak laki-laki di Jakarta mungkin putus sekolah untuk menjadi tukang ojek online, menghasilkan Rp50.000 sehari yang krusial bagi keluarga. PKBM mencoba mengatasi ini dengan program beasiswa atau kerjasama dengan perusahaan lokal untuk magang, tapi keterbatasan dana sering membuat inisiatif ini tidak berkelanjutan. Kedua, aksesibilitas geografis. Di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), jarak ke PKBM bisa mencapai puluhan kilometer, ditambah kondisi jalan yang buruk dan transportasi mahal. Pandemi COVID-19 memperburuk ini; banyak PKBM kehilangan peserta karena ketiadaan akses internet untuk pembelajaran daring.

Tantangan ketiga adalah stigma sosial dan budaya. Di masyarakat patriarkal, anak perempuan sering diprioritaskan untuk urusan rumah tangga atau pernikahan dini. Data UNICEF 2022 menyebutkan bahwa 1 dari 9 anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun, yang langsung menyebabkan putus sekolah. PKBM berupaya dengan kampanye kesadaran gender, seperti workshop tentang hak perempuan, tapi resistensi dari komunitas lokal tetap ada. Keempat, kualitas pengajar dan kurikulum. Banyak tutor PKBM adalah relawan dengan latar belakang pendidikan minimal, sehingga metode pengajaran kurang inovatif. Kurikulum kesetaraan memang setara secara nasional, tapi sering kali kurang adaptif terhadap kebutuhan lokal, seperti keterampilan digital di era Industri 4.0. Kelima, pendanaan dan regulasi. PKBM bergantung pada dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) nonformal yang terbatas, sekitar Rp1-2 juta per tahun per lembaga, menurut laporan Kemendikbudristek. Birokrasi untuk akreditasi dan sertifikasi ijazah juga rumit, membuat lulusan kesulitan diterima di dunia kerja formal.

Meskipun demikian, PKBM telah membuktikan resiliensinya. Di Bandung, misalnya, PKBM "Harapan Baru" berhasil mengintegrasikan teknologi dengan kelas hybrid pasca-pandemi, meningkatkan tingkat kelulusan dari 70% menjadi 90% dalam dua tahun. Peran PKBM dalam pembangunan sumber daya manusia tidak bisa diremehkan; ia menciptakan multiplier effect. Seorang lulusan Paket C yang menjadi pengusaha sukses bisa mengemploy beberapa anak putus sekolah lain, menciptakan siklus positif. Namun, untuk memaksimalkan potensi ini, pemerintah harus bertindak lebih tegas. Alokasi anggaran pendidikan nonformal perlu ditingkatkan dari current 1-2% menjadi minimal 5% dari total APBN pendidikan. Kerjasama dengan swasta melalui CSR (Corporate Social Responsibility) bisa menyediakan fasilitas seperti laptop atau modul digital. Selain itu, integrasi PKBM dengan program sosial seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) harus diperluas, termasuk bantuan transportasi dan nutrisi.

Tantangan anak putus sekolah juga mencerminkan kegagalan sistem pendidikan formal yang terlalu rigit. Sekolah formal sering kali gagal mengakomodasi anak dari keluarga miskin dengan absensi tinggi atau kebutuhan khusus. Di sini, PKBM menawarkan model yang lebih manusiawi: pembelajaran berbasis komunitas, di mana tutor bukan hanya pengajar tapi juga mentor kehidupan. Studi kasus dari PKBM di Surabaya menunjukkan bahwa 80% lulusan merasa lebih percaya diri dan memiliki keterampilan hidup yang lebih baik daripada jika mereka tetap putus sekolah. Ini bukan hanya tentang ijazah; ini tentang restorasi harga diri dan harapan.

Namun, tanpa dukungan holistik, PKBM berisiko menjadi solusi sementara. Tantangan psikologis anak putus sekolah—seperti trauma, rendah diri, atau kecanduan gadget—memerlukan intervensi konseling yang jarang tersedia di PKBM. Kolaborasi dengan psikolog atau NGO seperti Save the Children bisa menjadi solusi. Selain itu, di era digital, PKBM harus bertransformasi menjadi pusat pembelajaran berbasis AI dan online, meskipun ini menimbulkan tantangan baru seperti digital divide.

Secara keseluruhan, PKBM adalah mercusuar di tengah badai ketidakadilan pendidikan. Perannya dalam memberdayakan anak putus sekolah telah menyelamatkan ribuan nyawa dari jurang kemiskinan abadi. Namun, tantangan yang dihadapi—ekonomi, geografis, sosial, kualitas, dan pendanaan—menuntut reformasi mendalam. Pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta harus bersinergi: tingkatkan dana, inovasi kurikulum, dan kampanye anti-stigma. Jika kita abaikan ini, kita bukan hanya kehilangan generasi, tapi juga potensi bangsa. Anak putus sekolah bukan beban; mereka adalah aset yang menunggu dipoles. Melalui PKBM yang lebih kuat, Indonesia bisa mewujudkan visi "pendidikan untuk semua" yang sejati. Mari kita mulai dari sekarang, karena setiap anak yang kembali belajar adalah satu langkah menuju Indonesia Emas 2045.