"Masalahnya bukan hanya pada teknis pelaksanaan kaderisasi, tetapi pada ekosistem berpikir yang mulai hilang. Banyak kader lebih sibuk dalam agenda-agenda seremonial dan kegiatan struktural yang berorientasi pada formalitas, namun minim refleksi kritis terhadap realitas sosial dan tantangan intelektual di sekelilingnya"
Oleh: Zaenal Ihya
(Anggota Kaderisasi PK PMII UIN SMH Banten)
Kondisi yang mencemaskan hari ini adalah kaderisasi PMII semakin hari semakin menjauh dari substansi. Banyak kegiatan kaderisasi yang terlihat hanya berfungsi sebagai checklist kegiatan: MAPABA, PKD, dan PKL serta pelatihan lainnya yang dilaksanakan bukan sebagai proses kaderisasi yang visioner, melainkan sekedar memenuhi syarat dan batas waktu.
Di balik pamflet MAPABA & PKD dsb, foto dokumentasi yang ramai di media sosial serta ucapan selamat kepada para sahabat yang telah mengikuti kegiatan kaderisasi, sesungguhnya ada ruang kosong yang tak terlihat: bahwa ada kegagalan dalam kesadaran kita menumbuhkan ideologi dan intelektual pada diri kader.
Namun, di banyak wilayah termasuk kota Serang, persoalan praktik mentoring kerap sebatas melengkapi dari pada kepanitiaan. Ada sejumlah faktor utama yang menyebabkan hal ini terjadi. Padahal, mentoring adalah fondasi awal dalam membangun kedekatan antara kader muda dan kader militan, membentuk daya pikir kritis, memperkenalkan nilai-nilai dasar pergerakan, serta menanamkan karakter dan mentalitas pejuang.
Kini, makna itu mulai hilang. Di banyak rayon dan komisariat, mentoring tak lebih dari hanya memenuhi kewajiban administratif, atau bahkan dijalankan sebatas pelengkap daripada kepanitiaan. Misalnya saja, perealisasian Rencana Tindak Lanjut (RTL) pasca-MAPABA atau PKD seringkali hanya dipenuhi sebagai syarat formal, bukan sebagai bagian dari proses kaderisasi yang bermakna. Akibatnya, kader muda dibiarkan melangkah sendiri—tanpa arah, tanpa bimbingan, dan tanpa pijakan nilai yang kuat.
Mentoring yang mati adalah tanda bahwa jiwa kaderisasi PMII sedang sakit
Ketika mentoring tidak lagi dijalankan dengan maksimal dan proporsional, kaderisasi kehilangan esensinya. Kaderisasi adalah proses panjang yang memerlukan ketelatenan, arah yang jelas, dan kesadaran ideologis.
Masalahnya bukan hanya pada teknis pelaksanaan kaderisasi, tetapi pada ekosistem berpikir yang mulai hilang. Budaya membaca, berdiskusi, dan menulis tidak tumbuh dalam suasana yang mendukung. Banyak kader lebih sibuk dalam agenda-agenda seremonial dan kegiatan struktural yang berorientasi pada formalitas, namun minim refleksi kritis terhadap realitas sosial dan tantangan intelektual di sekelilingnya.
Tak sedikit pula yang terjebak dalam gaya hidup hedonistik dan FOMO (fear of missing out), lebih sibuk mengejar eksistensi di media sosial daripada memperdalam pemahaman ideologi dan memperkuat kapasitas intelektual. Akibatnya, lahirlah kader-kader yang aktif secara fisik, namun tumpul secara intelektual, bergerak tanpa arah gagasan, berbicara tanpa kedalaman makna, dan berjuang tanpa fondasi pemikiran.
Maka saat ini, PMII sudah seharusnya melakukan refleksi mendalam. Jangan sampai terlena dengan hanya sibuk mengurusi dinamika internal organisasi, namun luput terhadap tanggung jawab untuk mendidik kader atau anggota. Sebab, kegagalan sebagai pengurus organisasi baik ditataran rayon/komisariat adalah ketika kader merasa bangga dengan jabatannya, tetapi tidak memiliki pemahaman (lack of understanding) tentang arah perjuangannya.
Tentang Penulis
Zaenal Ihya merupakan penulis kelahiran Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak - Banten, saat ini ia aktif diberbagai kegiatan organisasi kampus baik internal atau eksternal di Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Untuk mengetahui lebih jauh tentang pemikiaran penulis,berikut beberapa karyanya yang bisa diakses secara umum:
1. https://www.distriknews.com/kolom/38216161523/organisasi-masih-relevan-selama-manusia-membutuhkan-nilai
2. https://www.distriknews.com/nasional/38214411899/gejolak-pum-online-2025-bagaimana-posisi-mahasiswa-uin-banten