Oleh: Kijing
Wah, bro-sis sekalian, lagi panas-panasnya nih obrolan soal pengangkatan Soeharto jadi pahlawan nasional. Baru kemarin, tepatnya 10 November 2025, Presiden Prabowo resmi kasih gelar itu ke mantan presiden Orde Baru lewat Keputusan Presiden Nomor 116/TK/2025. Ini bukan kali pertama usulan ini muncul, loh—udah bolak-balik sejak 2010 dan 2015, tapi baru sekarang kejadian. Gue sebagai anak muda yang suka baca sejarah sambil ngopi, pengen kasih opini kritis tapi santai aja.
Pertama, mari kita flashback dulu ke era Soeharto. Lahir di Kemusuk, Yogyakarta, pada 1921, Soeharto naik ke panggung politik lewat militer. Dia jadi presiden kedua Indonesia setelah Supersemar 1966, dan memimpin selama 32 tahun—terlama di sejarah republik ini. Zaman Orde Baru, banyak yang bilang itu masa keemasan ekonomi. Bayangin, Indonesia dari negara yang lagi-lagi impor beras, jadi swasembada pangan. Petani dikasih pupuk subsidi, irigasi dibangun, dan hasilnya? Kita bisa makan nasi tanpa khawatir kelaparan massal. Forum Komunikasi Anak Petani Indonesia (FORKAPI) aja dukung banget, bilang Soeharto berjasa besar sejahterakan petani. Ekonomi tumbuh rata-rata 7% per tahun, infrastruktur kayak jalan tol, bandara, dan bendungan bermunculan. Banyak yang ngerasa hidup lebih stabil, harga-harga gak naik gila-gilaan, dan stabilitas politik dijaga ketat. Survei dari GoodStats bilang 78% responden dukung pengangkatan ini karena keberhasilan swasembada dan pembangunan. Di X, ada post yang bilang Soeharto bikin petani jadi pahlawan pembangunan, dan warisan itu masih dirasain sampe sekarang.
Tapi nih, gue gak bisa diem aja liat sisi positif doang. Ini kayak nonton film superhero yang endingnya twist—ada villain di balik hero. Yang bikin gue geleng-geleng, masa lalu Soeharto penuh noda hitam yang gak bisa dihapus gitu aja. Mulai dari peristiwa 1965-1966, di mana ratusan ribu bahkan jutaan orang dibantai atas nama pemberantasan komunis. Soeharto naik ke kekuasaan lewat kudeta yang berdarah itu, dan sampe sekarang, korban dan keluarganya masih trauma. Komnas HAM aja pernah bilang ini pelanggaran HAM berat. Lalu, invasi ke Timor Timur pada 1975—ribuan nyawa hilang, dan Indonesia dicap agresor internasional. Belum lagi kasus penghilangan paksa aktivis pada 1997-1998, seperti Marsinah yang ironisnya juga diangkat jadi pahlawan nasional bareng Soeharto kemarin. Di artikel Kompas, pegiat HAM bilang ini berpotensi nutup luka lama bangsa. Gue bayangin, kalau lo anak korban, pasti sakit hati liat pelaku dihormati sebagai pahlawan.
Nah, soal korupsi? Ini legendaris banget. KKN—Korupsi, Kolusi, Nepotisme—jadi jargon sehari-hari di era Orde Baru. Keluarga Soeharto, dari anak-anak sampe saudara, dapet proyek negara kayak monopoli. Harta mereka sampe sekarang masih misteri, dengan tuduhan korupsi miliaran dolar. World Bank pernah estimasi korupsi di era itu nyedot 30% anggaran negara. Keluarga Soeharto sendiri bilang wajar ada pro-kontra, tapi mereka seneng akhirnya diakui. Di CNBC, Mbak Tutut buka suara bilang ini penghargaan atas jasa, tapi gue mikir, jasa apa yang bisa nutup dosa sebesar itu? Di X, ada yang nanya, "Kalau Soeharto dan Marsinah sama-sama pahlawan, siapa penjahatnya?" Lucu tapi nyesek, kan?
Sekarang, mari kita bahas pro-kontra lebih dalam. Dari sisi pro, banyak yang bilang ini langkah rekonsiliasi. Presiden Prabowo, yang dulu anak buah Soeharto, bilang ini penghargaan atas pengabdian. Kelompok seperti FSP BUMN Bersatu dukung karena Soeharto bangun fondasi BUMN. Di survei Kedai Kopi atau yang lain, mayoritas rakyat dukung—mungkin karena generasi tua masih ingat "zaman enak" di mana harga stabil dan gak ada demo setiap hari. Gue paham, loh, kenapa banyak boomer seneng. Mereka hidup di era di mana negara kayak ayah besar yang ngatur segalanya, dari harga beras sampe berita TV. Stabilitas itu bikin nyaman, meski sebenarnya itu stabilitas semu yang dibangun atas represi. Di X, ada post yang bilang ekonomi stabil, pembangunan besar-besaran, dan kualitas hidup naik—itu warisan nyata.
Tapi kontra-nya lebih vokal dari kelompok hak asasi dan intelektual. Pegiat sejarah di Jombang bilang jejak hitam Soeharto bikin dia gak layak. Gusdurian, pengikut Gus Dur yang juga diangkat pahlawan bareng, bilang ini buka luka sejarah kelam. Di Change.org, ada petisi tolak gelar ini yang udah beredar luas. Media seperti Detik dan Kompas sorot pro-kontra ini, bilang usulan ini panas karena antara jasa dan luka lama. Pakar hukum dari UGM sebut ini upaya 'cuci dosa' Orde Baru. Gue setuju, sih—kalau kita angkat figur kontroversial tanpa resolusi HAM, malah bikin sejarah ambigu. Bayangin, anak cucu kita belajar di sekolah: "Soeharto pahlawan, tapi dia juga bantai orang." Bingung kan?
Gue mikir, ini soal bagaimana kita definisikan pahlawan nasional. Menurut UU No. 20 Tahun 2009, pahlawan itu orang yang berjuang melawan penjajahan, atau beri jasa luar biasa buat bangsa. Soeharto emang berjuang lawan Jepang dan Belanda, tapi presidensinya? Campur aduk. Jasa ekonomi iya, tapi biaya sosialnya mahal banget. Di Pontianak Post, bilang keputusan ini picu pro-kontra terkait masa lalu kontroversial. Gue analogikan kayak kasih Oscar ke sutradara hebat tapi ternyata dia predator—prestasi iya, tapi moralnya nol. Lebih baik kita hormati jasa tanpa gelar resmi, biar gak nutup mata soal salah.
Dampaknya ke masyarakat? Gue khawatir ini bikin polarisasi lagi. Di era digital, opini di X campur aduk: ada yang dukung karena warisan pembangunan, ada yang tolak karena HAM. Satu post bilang ini pengakuan atas kontribusi swasembada, tapi yang lain nanya siapa penjahatnya kalau korban dan pelaku sama-sama pahlawan. Ini bisa bikin generasi muda bingung soal sejarah. Gue ingat kata Gus Mus: "Jangan lupakan sejarah, tapi jangan juga dendam." Tapi pengangkatan ini kayak lupain separuh sejarah.
Secara internasional, media barat kayak Reuters pasti sorot ini sebagai langkah mundur buat demokrasi Indonesia. Meski ada dukungan dari kelompok petani dan BUMN, kontra dari NU dan pegiat HAM kuat banget. Gue mikir, mungkin ini bagian dari politik nostalgia Prabowo, yang pengen bangun citra Orde Baru lagi. Tapi di 2025, dengan demokrasi yang udah 27 tahun, kita harus lebih dewasa. Rekonsiliasi HAM dulu, baru bicara gelar.
Opini gue pribadi? Gue kritis banget. Soeharto punya jasa, iya—gue gak nolak itu. Tapi pahlawan nasional harus figur teladan tanpa catatan hitam panjang. Ini kayak kasih medali emas ke atlet yang doping sepanjang karir. Lebih baik kita bangun museum sejarah lengkap, ceritain pro dan kontra, biar anak muda belajar. Jangan paksain gelar yang bikin luka terbuka. Di Dialeksis, bilang gelar ini picu pro-kontra besar. Gue harap pemerintah dengar suara kontra, bukan cuma mayoritas survei.
Intinya, pengangkatan ini mungkin baik buat yang pro-Orde Baru, tapi buat gue dan banyak orang, ini langkah mundur. Kita butuh pahlawan yang inspirasi kebaikan murni, bukan yang campur aduk. Gimana pendapat lo?